#
#
By WARC
August 10, 2023
Akumulasi Perampasan Sumber Agraria Petani Menjadi Buruh Gula
Kebutuhan gula Indonesia yang besar dan terus meningkat setiap tahun, tidak sejalan dengan kemampuan untuk memproduksi. Menurut laporan Kementerian Pertanian RI, kebutuhan gula nasional mencapai 6 juta ton yang terdiri dari 3 sampai 3,2 juta ton gula industri dan 2,7 hingga 2,9 juta ton gula konsumsi per tahun 2021. Sementara itu, kemampuan produksi gula konsumsi sendiri di tahun yang sama hanya mencapai 2,3 juta ton. Ketimpangan jumlah ini sebenarnya diimbangi dengan jumlah luas lahan perkebunan tebu yang terus menurun. Hal ini menjadi ketidakmampuan pemerintah memenuhi kebutuhan gula yang akhirnya memilih melakukan impor gula dan mempercepat swasembada gula nasional.
Awalnya produksi gula hanya mengharapkan kemampuan PTPN (PT Perkebunan Nusantara) saja, tetapi seiring perkembangan neoliberalisme perdagangan Indonesia yang kondusif bagi pihak swasta, investasi gula kembali mendapat perhatian. Hal ini kemudian berujung kepada penguasaan dan perampasan terhadap sumber daya alam pada tempat yang dijadikan sebagai wilayah perkebunan tebu dan pabrik gula.
Tindakan yang secara sadar mengeksploitasi lingkungan tidak bisa diselesaikan dengan membangun kesadaran kolektif maupun melakukan kerjasama atau negosiasi. Hal tersebut kemudian diberikan istilah yakni accumulative by dispossession atau akumulasi perampasan yang digunakan untuk melihat bagaimana pemusatan sumber daya alam milik publik dialihkan dan akirnya menghasilkan akumulasi wealth and power pada sekelompok individu lainnya (Harvey, 2003).
Namun, akumulasi perampasan ini sebenarnya berhubungan erat dengan adanya kondisi surplus kapital yang bisa jadi terhubung dengan surplus tenaga kerja. Surplus kapital ini terlihat menjadi jalan keluar yang menguntungkan bagi semua pihak. Paska pembangunan pabrik dan perkebunan tebu memunculkan petani yang kehilangan lahan tebunya menjadi surplus tenaga kerja. Luasnya lahan tanah ulayat yang dialihkan menjadi lahan perkebunan membuat petani-petani yang awalnya bertani akhirnya berubah menjadi buruh pabrik karena modal bertani mereka yang sudah tidak ada lagi.
Pilihan menjadi buruh ini dianggap lebih mudah karena lokasi tempat kerja yang dekat dari rumah, dan upah harian yang langsung dibayarkan saat jam kerja harian selesai serta tidak memerlukan banyak modal jika dibandingkan dengan menggarap sawah. *Sayangnya, beberapa pabrik memberikan upah dengan jumlah yang sangat kecil* dibandingkan dengan luasnya lahan yang telah diberikan serta sumber daya air yang diambil oleh pihak pengelola pabrik tersebut.
Berdasarkan Penelitian:
Akumulasi Perampasan : Tersingkirnya Masyarakat Desa Wanga Dalam Pemanfaatan Sumber Daya Agraria
Anastacia Patricia Novlina Nurak (Penerima Hibah Penelitian Warc & Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Warmadewa)