Arsitektur Sebagai Alat Untuk Mengakumulasi Kapital

#


img

#

By I Nyoman Gede Maha Putra ST., MSc., Ph. D.

November 21, 2023

Arsitektur Sebagai Alat Untuk Mengakumulasi Kapital

Bigness
Selain desain-desain ikonis dengan bentuk-bentuk yang partikular, saat ini  bertumbuh juga arsitektur dan bangunan-bangunan besar. Besar disini bukan hanya bangunannya, tetapi juga soal luas lahan yang dibutuhkan termasuk ketinggian bangunannya. 
Dari arah Pasar Pancasari, jika kita melihat ke arah bukit di timur laut, sebuah struktur beton tinggi besar sedang dibangun. Konon akan menyaingi Menara Eiffel yang ada di Paris. Di malam hari, lampu menyala terang terlihat hingga jarak cukup jauh meski menaranya belum selesai. 

Mall besar dengan parkir yang dijanjikan akan mampu menampung ribuan mobil sedang dibangun di Sanur. Tiang-tiang beton sedang berkejaran berlomba didirikan. Masih dari kawasan yang sama, rumah sakit berstandar dan berskala internasional juga sedang berpacu dengan waktu. Crane-crane menjulang bekerja tiada henti melayani pekerja yang berpeluh di bawah terik matahari. 


Sebuah akun di IG menampilkan imaji sebuah proyek apartmen yang akan memiliki kolam renang terpanjang di dunia di bagian atapnya. Bangunan ini sedang ditawarkan untuk mendapat pembiayaan investor international dengan janji, quick return on investment. Pengembang yang sama, sebelumnya sukses menjual apartemen besar puluhan kamar di tepian pantai Sanur di Bali. 


Proyek-proyek besar juga sedang dibangun bahkan sudah ada yang beroperasi di tepian tebing-tebing curam kawasan Bukit Jimbaran hingga tebing-tebing hijau di Ubud.


Pemerintah tidak mau kalah. Proyek Pusat Kebudayaan Bali, pasar-pasar tradisional yang direvitalisasi, dan proyek infrastruktur berskala raksasa juga sedang dibangun. Proyek yang disebutkan pertama sudah memasuki tahap penyiapan infrastruktur dasar. Jika sudah terbangun, akan menjadi pusat pelestarian dan pengembangan tradisi terbesar di Indonesia. Sebagai tambahan, fasilitas ini akan dilengkapi dengan fasilitas wisata kelas dunia: marina, kompleks apartemen mewah dan villa kelas atas. 


Hingga tahun 1970 akhir, tidak banyak yang percaya bahwa Bali memiliki prospek investasi yang menarik. Pemerintah sampai memberikan tax holiday agar penanam modal internasional mau berinvestasi. Kini, Bali menjadi salah satu tempat yang memiliki tingkat pengembalian modal paling tinggi di dunia mengalahkan Dubai, Bangkok, dan Jakarta. Hal ini terjadi, dugaan saya, karena tiga hal. Pertama, semua orang menganggap berwisata menjadi kebutuhan pokok. Ia bukan lagi kebutuhan sekunder apalagi tersier tetapi primer. Dengan reputasinya yang dibangun sejak masa kolonial  Bali memiliki keuntungan komparatif di bidang bisnis travelling ini. Bandara yang sudah diperbesar, jalan-jalan tol yang sedang dibangun, proyek MRT yang sedang dibahas semua siap melayani kebutuhan pengunjung yang sekaligus meningkatkan minat investor. 


Faktor kedua adalah tenaga kerja bidang pariwisata yang tersedia berlimpah dengan tingkat upah yang tidak terlampau tinggi. Keberlimpahan tenaga kerja ini terjadi akibat banyaknya sekolah-sekolah pariwisata dan perhotelan yang kini tersedia hingga ke pelosok-pelosok. Jumlah yang banyak menciptakan persaingan dan perang harga yang berakibat pada rendahnya upah yg mereka terima.


Faktor ketiga adalah rencana tata ruang dan tata kelola perijinan yang relatif longgar, hampir menerima semua jenis usaha dan tipologi bangunan. Kombinasi antara upah yang rendah dengan permintaan atas jasa layanan yang tinggi membuat margin keuntungan menjadi lebar. Ini disukai investor. Akibatnya, skala investasi property mengalami masa keemasan hingga skalanya sudah sulit untuk dibayangkan, sangat besar. Kawan-kawan konsultan desain arsitektur da juga kontraktor pelaksana Pembangunan di Bali saat ini banjir pekerjaan. Lulusan program studi arsitektur dengan mudah terserap di pasar yang sedang tumbuh pesat ini. Bagaimana hal ini bisa terjadi?


Sewindu yang lalu, ekonom Perancis Thomas Piketty mempublikasikan bukunya ‘Capital in the 21st Century” yang menganalisis cara kerja kapital dari perspekstif sejarah. Tesis utama buku ini adalah bahwa ketidaksetaraan bukanlah suatu kebetulan, melainkan sebuah ciri kapitalisme, dan hanya dapat diatasi melalui intervensionisme negara. Menurut Piketty, kecuali kapitalisme direformasi, tatanan demokrasi akan terancam.


Piketty mendasarkan argumennya pada rumus yang menghubungkan tingkat pengembalian modal  dengan pertumbuhan ekonomi.  Tingkat pengembalian modal mencakup keuntungan, dividen, bunga, sewa, dan pendapatan lain dari modal. Sementara itu tingkat pertumbuhan ekonomi diukur sebagai pertumbuhan pendapatan masyarakat. Ia berpendapat bahwa ketika tingkat pertumbuhan rendah, maka kekayaan cenderung terakumulasi lebih cepat dari modal dibandingkan dari tenaga kerja. Akibatnya, kesejahteraan cenderung terakumulasi lebih banyak di kalangan pemilik modal sehingga meningkatkan ketimpangan. 
Dalam hal proyek property di Bali, sebagian besar merupakan investasi global dan mungkin juga dari Jakarta. Lokasi-lokasi tempat dibangunnya fasilits tersebut ada di atas lahan strategis sehingga bisa dipastikan harganya sangat mahal. Untuk memaksimalkan profit, maka pada tahap konstruksi akan terjadi Upaya untuk menekan biaya mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan. Arsitek sebagai pelaku utama dalam tahap perencanaan bisa jadi mendapat tugas berat: melaksanakan perencanaan dengan biaya minim dengan tuntutan menghasilkan bangunan yang ‘laku’ di pasar namun dengan biaya produksi yang rendah: material dan tenaga kerja murah. 


Secara desain, proyek-proyek yang sedang dibangun tidak lagi menyasar pangsa pasar pelancong kaya dari Eropa, Amerika atau Australia. Turis-turis baru dari Asia Barat, Asia Tengah dan Timur juga kini mendapat perhatian. Kelompok ini menyukai kehidupan modern dan, sepertinya, memiliki sedikit minat terhadap budaya. Tambahan, pengunjung dari Jawa juga kini membanjir. Kelompok ini juga merupakan pasar yang gemuk. Mengikuti selera pasar, desain yang bersumber tradisi kini ditinggalkan. Pergeseran mengarah pada bentuk-bentuk tropika modern ala desain Singapore. Beton, baja dan kaca menjadi material dominan. Dengan skala proyek yang sedemikian besar, bisa dibayangkan jumlah material yang dibutuhkan untuk terciptanya karya desain. 


Kembali ke thesis Piketty, upaya menekan biaya untuk membuatnya murah bisa dipastikan terjadi secara maksimal. Desain-desain yang dibuat, agar dapat menghasilkan margin keuntungan yang besar, harus dibuat se-efisien mungkin. Di sini penerapan standar-standar keamanan, keselamatan dan kehandalan struktur bangunan mesti benar-benar diperiksa. Kecelakaan lift yang memakan korban jiwa di sebuah resort di Ubud bisa jadi merupakan puncak gunung es dari tidak dijalankannya standar keselamatan dengan benar.


Selain menekan biaya produksi dan operasional agar tetap rendah, proyek-proyek besar ini menuntut kedatangan banyak orang yang rela membelanjakan banyak uang. Untuk mencapai skala jumlah orang, bandar udara harus diperbesar, proyeksi kedatangan wisatawan dibuat maksimal dan ini harus diikuti dengan proyek-proyek transportasi darat yang lebih mumpuni mengatasi kemacetan yang sudah menjadi keseharian. Disinilah logika insfratsruktur bekerja: melayani kapital agar untuk menciptakan akumulasi kesejahteraan kepada pemilik modal. 


Berikutnya, tugas juga dibebankan kepada para marketer, para agen penjualan yang dituntut mampu menarik minat orang untuk berinvestasi sekaligus berkunjung. Peranan kelompok ini semakin signifikan. Bayarannya, yang umumnya dihitung berdasarkan prosentase penjualan, bisa berkali lipat dibandingkan arsitek. Mereka inilah yang menuntut dan menentukan arah desain. Sihir-sihir penjualan bisa mendikte arsitek dan perencana untuk mengikuti apa yang digariskan oleh para manajer yang bertugas memastikan desain akan laku. Ini adalah desain-desain yang bertugas untuk melipatgandakan modal. Desain-desain yang dituntut untuk bekerja sesuai logika kerja modal yang menuntut pengambalian yang cepat dalam waktu yang singkat. 


Dalam kondisi ini, Reiner de Graaf, salah satu arsitek utama di kantor OMA di Rotterdam pernah mengatakan jika perdebatan sekarang bukan lagi pada modern vs postmodern yang menempatkan isu kehidupan sosial dalam tema sentralnya tetapi pada karya arsitektur yang tidak bekerja untuk kapital vs karya arsitektur yang bekerja untuk kapital.


Dalam pembahasan makna arsitektur, jika kita masih memperdebatkan dikotomi Barat dan Timur, Utara dan Selatan, hal ini nampak sepele. Tetapi, meskipun sepele, arsitektur yang bertugas menduplikasi kesejahteraan ini bisa menjadi the winner of the game. 


Denpasar, 18 November 2023