Desain Ikonis Dimana-mana

#


img

#

By I Nyoman Gede Maha Putra ST., MSc., Ph. D.

November 22, 2023

Desain Ikonis Dimana-mana

Dari tengah rerimbunan hutan di tepian jurang di ubud, di tepian pantai Sanur, di daerah sejuk Baturiti, hingga ke bukit-bukit karang di selatan Pulau Bali, desain-desain ikonik bermunculan. Bentuknya kontras dibandingkan lingkungan sekitar, dengan atraksi struktural dan arsitektural serta material sophisticated, semua menjadikannya berpotensi sebagai landmark kawasan. Hingga tulisan ini dibuat, saya meyakini masih banyak lagi style-style individual yang sedang dikerjakan oleh para pekerja bangunan dan juga yang sedang dirancang di kantor-kantor konsultan arsitektur di berbagai wilayah di Bali. Style yang particular sedang dalam masa puncaknya. Dunia sedang hidup di 'The Age of Spectacle', kata kritikus Tom Dickhoff.


Charles Jenkcs dalam artikel yang ditulisnya tahun 2015 sebagai respons atas buku The Function of Style yang ditulis oleh arsitek wanita kenamaan Farshid Moussavi menyebutkan bahwa keberagaman yang terjadi di masyarakat menjadi salah satu pemicu munculnya gaya-gaya individual dalam arsitektur. Buku Moussavi sendiri ditulis dengan argument pokok bahwa style dalam arsitektur seharusnya berfokus pada respons estetika individual dan bukan berdasarkan atas pemahaman yang sama. Pendapat ini mungkin beresonansi ke buku Thomas Heatherwick yang baru saja diterbitkan berjudul “Humanize, a Maker’s guide to Designing Our Cities”. Di dalam bukunya tersebut, Heatherwick berargumen bahwa kita membutuhkan pendekatan-pendekatan yang lebih beragam dalam upaya menciptakan kota yang menawarkan pengalaman yang kaya untuk membantu manusia memahami hakikat dirinya. 


Tapi buat saya, individualisme yang latah belakangan adalah produk dari pasar dan tata kelola perijinan yang berubah. Semua ini berasal dari perubahan kebutuhan manusia setelah keberhasilan teknologi dalam memenuhi kebutuhan dasar akan makanan, pakaian dan tempat tinggal serta rasa aman. Jika kita runut dari teori Maslow, meskipun mendapat banyak kritikan, maka kita melihat terjadi shifting dimana kebutuhan hari ini adalah self-esteem yang lebih bernuansa social. Ini adalah kebutuhan psikologis manusia yang sedang mencari prestise social melalui perayaan akan pencapaian diri. Sosial media, bisa jadi, turut memberi bensin pada api yang sedang berkobar ini. Setiap saat kita membuka akun yang ada di layar mungil telepon seluler, banjir imaji kawan dan kolega yang sedang ‚merayakan‘ dirinya terpampang jelas. Tempat-tempat berdesain unik menjadi latar ‚perayaan diri‘ tersebut.


Berikutnya, pasar pariwisata juga berubah drastis. Semasa dan pasca pandemi Covid-19 terjadi banjir wisatawan. Kemudahan pengurusan visa, tersedianya penerbangan terjangkau, dan meningkatnya performa ekonomi membuat setiap orang kini menempatkan aktivitas berwisata sebagai bagian gaya hidup. Bali dibanjiri wisatawan domestic dan lokal. Banyak diantara wisatwan domestic adalah repeated client, orang yang sudah beberapa kali berkunjung.  Mereka membutuhkan tempat-tempat yang memberi pengalaman baru. Ini memicu investasi di bidang pariwisata untuk terus melakukan proses re-inventing, menciptakan ruang-ruang bermain yang baru. 


Selain individu, perusahaan nampaknya juga melakukan tindakan yang sama yaitu melakukan ‚perayaan’ atas capaian mereka dengan membuat desain tempat usaha ikonis, yang bisa menempatkan mereka di dalam peta  ‚usaha-usaha‘ yang sukses. Selain itu, pengusaha memang memiliki motif untuk menduplikasi keuntungan. Pasar wisatawan jenis baru ini harus mereka layani. Dengan demikian, arsitek kini memiliki ‚teman‘ untuk berkreasi. 


Tahapan desain yang dilakukan oleh arsitek secara tradisional dibagi menjadi dua. Tahap pertama adalah saat mereka dalam tahap inkubasi, berkreasi dengan kreativitas diri dan tim desain internal hingga menghasilkan sebuah desain. Ini adalah proses kreatif yang agak ‚steril‘. Arsitek yang mengidamkan kebebasan menikmati tahapan ini. Berikutnya, di tahap kedua, perancang harus bernegosiasi dengan pihak di luar diri dan tim desainnya. Pihak pertama adalah klien yang memiliki perhatian pada budget. Pihak berikutnya adalah pemerintah selaku regulator bangun-bangunan yang berfokus pada perijinan. Perijinan ini seringkali problematik dalam kasus penciptaan desain ikonis. Hal ini disebabkan oleh upaya pihak penyelenggara ijin untuk melakukan penyeragaman melalui standar-standar yang mereka tetapkan. Standar keamanan dan keselamatan umumnya tidak menimbulkan banyak perdebatan tetapi standar estetika, ukuran baku tentang desain yang ‚berkualitas‘ umumnya menjadi pusat perdebatan. Arsitek dan desainer membutuhkan iklim yang membebaskan imajinasi desain, sedangkan pemerintah menetapkan batasan-batasan. Kita tinggalkan perdebatan soal ini sampai disini.

  
Sekarang, selain arsitek, klien-klien juga memiliki jiwa adventurous yang tinggi. Mereka menyukai, jika tidak tergila-gila, pada hal-hal baru, ide-ide imajinatif dan  senang bermain-main dengan berbagai alternatif. Sosial media turut menjadi pemicunya. Saat ini, hampir semua orang bisa dengan mudah mengakses berbagai referensi arsitektural melalui berbagai platform elektronik. Pinterest menjadi sumber inspirasi penting selain laman majalah electronic yang bertebaran dan bisa diintip melalui layar ponsel. Selain berfungsi untuk ‘merayakan’ imajinasi dan kesuksesan, bagi klien dengan jiwa usaha yang baik, desain ikonis adalah ladang uang. Bangunan berdesain unik adalah sesuatu yang dicari para pelanggan mereka. Keberhasilan desain berarti promosi gratis karena pelanggan dengan sukarela akan membagikan tempat mereka di akun sosmednya masing-masing. Kondisi ini menyebabkan arsitek kini memiliki ‚teman‘ dalam mengeksplorasi desain. Ide-ide baru dan ‚liar‘ desainer mudah mendapat dukungan dan back-up dana jika proyeksi jumlah kunjungan bisa diprediksi berdasarkan atas daya tarik desain bagi pelanggan. Dengan demikian, ke-steril-an proses mendesain tahap pertama diterobos karena dukungan dari klien. Arsitektur kini adalah soal ekonomi: berapa banyak dan cepat yang bisa dihasilkan dari desain yang adventurous tadi. Desain ‚biasa-biasa‘ saja tidak lagi menarik.


Berikutnya, bagaimana dengan perijinan? Bisnis yang sukses berarti pendapatan daerah meningkat melalui pajak. Ada negosiasi disini. Klien bisa menjadi advokat yang baik bagi arsitek di hadapan pemerintah. Mereka bisa membangun argument bahwa desain yang dibuat bisa menaikkan pendapatan dari pajak dan menghidupkan ekonomi lokal. Angka-angka proyeksi pendapatan adalah hal yang disukai oleh politisi. Ini menjadi pintu masuk bagi keluarnya ijin untuk proyek-proyek berdesain ikonis. Tahapan mendesain arsite kini sudah sulit dibedakan secara clear-cut. Ini bisa menjadi berita baik sekaligus berita buruk. Berita baiknya, dukungan terhadap desain krativitas kini datang dari segala arah. Berita buruknya, arsitek tidak lagi bisa berpatokan pada satu style. Mereka dituntut untuk terus berinovasi dan bereksplorasi. 


Adakah yang menjadi korban jika semua terlihat positif? Konteks. Ya konteks di sini bisa berarti banyak hal: lingkungan, sejarah tempat, memori tempat, ikatan sosial, rasa memiliki tempat dan seterusnya. Konteks, seperti kata Bernard Tschumi, tidak pernah netral. Ia memiliki masa lalu, sejarah, yang membentuk ikatan dengan penghuninya. Konteks tidak pernah berupa kanvas kosong. Arsitek, dibantu klien dan pemerintah, yang membangun dengan menaganggap site sebagai kanvas kosong bisa memberi dampak berbahaya bagi psikologikal wellbeing penduduk yang ada di sekitarnya. Selain itu, dengan cepatnya perputaran style dalam arsitektur, bongkar pasang bangunan bisa menjadi semakin massif. Ini bisa memberi dampak kurang baik bagi lingkungan. Yang terakhir ini, menurut saya, perlu mendapat perhatian lebih. Munculnya kreasi-kreasi arsitektur ikonik ini seyogyanya diikuti dengan etika terhadap konteks yang juga memadai. Perayaan terhadap keterbukaan terhadap hal baru ini akan bisa bermakna jika disertai dengan apresiasi terhadap apa yang sudah ada. Jika ini tidak terjadi, maka Pulau Bali hanya akan menjadi ajang eksperimen yang tidak bertanggung jawab.