#
#
By I Nyoman Gede Maha Putra ST., MSc., Ph. D.
November 22, 2023
Mencari Kenusantaraan Arsitektur di Warung Kopi
Selama covid dan hingga pasca covid, ada banyak hal terjadi dalam dunia arsitektur. Dalam pengamatan saya, ada dua yang cukup remarkable yaitu mengemukanya perdebatan arsitektur nusantara dalam ranah teori serta, dalam bidang praktek, merebaknya warung kopi dari pusat kota hingga ke pelosok-pelosok kampung.
Saat berbicara soal nilai-nilai lokalitas dalam arsitektur di masa yang serba modern dan saling terkait melalui jejaring globalisasi ini, pernyataan Paul Ricoeur, dalam essaynya ‘Universal Civilization and National Cultures’, yang berbunyi: : “how to become modern and to return to sources; how to revive an old, dormant civilization, and take part in universal civilization” selalu mengemuka. Pernyataan ini mengacu pada kondisi masyarakat yang masih memiliki ikatan kuat dengan tradisi tetapi juga perlu bergerak terus maju menjadi bagian dari ruang yang lebih luas dan waktu yang terus berjalan ke depan, tidak pernah ke belakang.
Saat berbicara masalah arsitektur di Indonesia, Upaya untuk tetap menjaga akar inilah yang menjadi inti dari pembahasan. Entah, sekarang euforianya menguap nyaris tanpa bekas. Tidak ada lagi diskusi online yang membahas hal ini, jikapun ada terdengar sedikit out-of-date. Apakah ini terjadi setelah kepergian untuk selamanya Pak Josef Prijotomo? Orang yang selalu bersuara lantang soal ke-Nusantara-an arsitektur? Saya kurang tahu juga.
Di dalam dunia praktek, saya melihat ada geliat yang berbeda. Fasilitas kuliner merebak. Dalam skala kecil hingga menengah, kini tumbuh warung-warung kopi. Tempat nongkrong. Lokasinya tersebar di mana-mana. Di tepian pantai, pinggiran sawah, di antara hiruk pikuk tempat wisata di Seminyak dan sekitarnya, di desa dan, yang menurut saya menarik adalah, di pusat-pusat kota lama. Dalam beberapa dekade sebelum covid, pusat-pusat kota lama sudah mulai ditinggalkan, karena kalah mentereng dibanding pusat-pusat ekonomi baru yang berpusar pada aktivitas wisata. Kondisi ini membuat kota di Bali seperti donat, kosong bagian tengahnya yang erupakan pusat admisnitrasi dan ekonomi pasar tradisional namun hiruk-pikuk di pinggiran yang dipenuhi fasilitas wisata.
Image kota lama sudah kuno, obsolete, dan mungkin bagi sebagian orang, kampungan. Bisa jadi ini disebabkan oleh aktivitas jual beli kawasan ini yang ada di seputar kebutuhan dasar: makanan dasar dan kain untuk pakaian. Akibatnya, sebagian besar anak muda berpindah lokasi aktivitas meninggalkan pusat kota lama menjadi domain aktivitas generasi sebelum mereka. Sejauh ini, sulit membayangkan brand fashion internasional membuka cabang di pasar tradisional. Covid membuat kondisinya justru menggeliat. Terutama saat terjadi penguncian wilayah.
Penduduk hanya diijinkan untuk berkegiatan secara terbatas, hanya di wilayah yang bisa dijangkau berjalan kaki. Kondisi ini menguntungkan kota lama karena type bisnis tradisionalnya serta karakter penghuninya yang warga lokal. Mereka bisa tetap berjualan secara terbatas dengan pembeli adalah tetangganya. Bandingkan dengan daerah wisata yang pelaku aktivitasnya adalah turis mancanegara yang dilarang terbang serta pelayannya yang datang dari kampung yang jauh. Kawasan ini jauh lebih menderita.
Warung-warung kopi kecil muncul di kawasan ruang kota. Beberapa menempati ruko-ruko kosong atau bangunan rumah lama yang direnovasi menjadi kedai kecil. Bangunan-bangunan ini merupakan warisan jaman kolonial atau bangunan yang didirikan tahun 1920an, masa awal kemerdekaan saat Sukarno sedang gencar mempromosikan kemerdekaan sebagai jembatan menuju kehidupan yang lebih modern. Referensi terhadap tradisi tidak banyak dilakukan karena memang masa itu dilihat sebagai proses transisi. Meski demikian, modernnya bangunan tersebut tidak meniru totok arsitektur baru yang berkembang di eropa. Unsur tropis dengan selasar lebar, tembok tebal serta atap dominan tetap menjadi karakternya. Ia hanya tidak mengambil referensi bangunan tradisional yang banyak.
Dalam kasus bangunan tersebut dimanfaatkan sebagai kedai, desainnya memiliki nuansa homey, rumahan, yang kuat karena memang fungsi awalnya adalah tempat tinggal. Sentuhan dilakukan sangat minim sehingga karakter bentuk luarnya masih tidak berubah. Tidak seperti bagian luar yang mendapat sedikit sentuhan, bagian interior menjadi sasaran desain yang maksimal. Bilamana diperlukan, tembok-tembok sekat dijebol untuk menciptakan ruang yang lebih luas. Sebagain dinding dibuka sehingga hubungan ruang interior dan eksterior semakin leluasa. Ini terjadi karena, sebagai warung, privasi bukanlah hal yang utama. Beberapa ciri yang meninjol dari fasilitas ini adalah lantainya yang dibiarkan menggunakan tegel lama. Ada yang berwarna kuning cerah dengan tepian bermotif atau hijau lumut. Khas lantai rumah tahun 50-70an. Dinding putihnya digantungi foto-foto lama hitamputih berbingkai minimalis. Saat covid, nampaknya orang suka bernostalgia karena memiliki banyak waktu berdiam diri di dalam ruangan. Foto-foto tersebut mewakili nostalgia yang terjadi. Besi-besi railling dicat warna mencolok, hijau muda atau biru langit, demikian juga kusen-kusennya.
Skala ruangan dibuat intim dengan cara menata furniture dalam jarak yang saling berdekatan satu sama lain. Selain itu, bentuk dan warna sofa serta kursi juga didesain berlainan satu sama lain. Ini membuat ruangan yang kaya tekstur mewakili keberagaman di Masyarakat. Perhatian yang sangat detail pada bagian interior seolah mewakili kondisi lockdown saat sebagain besar dari kita harus ‘terpenjara’ di dalam bangunan. Maka, ruangan harus dibuat nyaman dan sehat. Nah untuk memehuhi urusan yang terakhir ini ditambahi tanaman indor. Selain menyediakan oksigen, warna hijaunya juga membuat suasana menjadi lebih hidup. Puitis, adalah suasana yang tercipta terutama saat Cahaya matahari menerobos masuk ke dalam ruangan melalui bukaan-bukaan di dinding. Inilah karakter warung kopi yang menempati bangunan lama, termasuk bangunan ruko-ruko lama peninggalan masa perdagangan lebih 5 dekade lampau.
Bagaimana dengan warung kopi baru? Yang tidak menempati bangunan lama? Nah ini juga menarik buat dibahas. Saya mendapati banyak insight soal arsitektur cafe ini dari postingan Iwan sastrawan melalui aku nig-nya @iwanthejourney. Penggemar kopi ini rajin mencicipi kopi di berbagai kedai dan membagikan pengalaman ruangnya.
Dari banyak postingan, saya mengamati karakter warung kopi modern yang bentuknya merupakan adaptasi dari geometri dasar: box, trapesium atau A-frame yang mendominasi tampilan fasadenya. Bentuk-bentuk geometri ini tampil dominan pada fasad. Kemencolokannya ditambah lagi dengan penggunaan warna yang tidak lazim tetapi, mungkin, merupakan corporate-identity dari bisnis waralaba kopi. Yes, banyak dari kedai-kedai ini yang bersifat waralaba. Karena bentuknya yang geometris namnun berukuran besar, maka dibutuhkan material struktural yang mumpuni, disinilah baja dan beton mengambil peran. Bahan-bahan modern ini dibiarkan tampil apa adanya: betonnya dengan finishing natural, demikian juga bajanya diekspos. Tektonikanya cukup sederhana, berbeda dengan bangunan tradisional. Kecepatan membangun sepertinya menjadi prioritas. Penggunaan material-material industri ini diikuti dengan rancangan lantai dengan material serupa, beton yang dipolish.
Tampilan-tampilan arsitektural fasilitas ini berbeda dengan yang ada di pusat kota, termasuk ketiadaan foto-foto hitam putih sebagai elemen interior. Sebagai gantinya, beberapa menempatkan patung kontemporer atau mempermainkan cahaya buatan. Estetika yang tidak memiliki keterikatan sejarah. Kesamaannya? Hubungan serba terbuka antara ruang dalam dan ruang luar, ketersediaan teras-teras intim serta hadirnya elemen tanaman di bagian interior. Selain tema-tema brutalis industrial, beberapa café menunjukkan Upaya meniru fasilitas sejenis dari eropa dengan jendela lengkung ala arsitektur victoria. Penggunaan bata sebagai material tempelan di dinding membantu terciptanya nuansa bangunan Inggris abad pertengahan.
Dalam beberapa obrolan random, para pengunjung yang Sebagian besarnya adalah remaja menyukai desain-desain kedua jenis kedai baik yang menempati bangunan lama maupun bangunan baru. Hal ini karena keduanya memberikan mereka pengalaman ruang yang baru. Pengalaman yang tidak diperoleh baik di rumah maupun di sekolah, kampus atau tempat kerjanya. Betul, pengalaman ruang menjadi daya jual sekaligus faktor yang menentukan kesuksesan desain kedai kopi masa kini. Ini tentu saja berbeda dengan kedai masa lalu yang berupa warung.
Bagaimana kaitanya dengan kenusantaraan? Jika kita mengacu kembali pada pernyataan Paul Ricoeur di atas, akan dijumpai hal berbeda. Baik kedai yang menempati bangunan lama maupun kedai dengan bangunan baru tidak memiliki acuan ke tradisi dalam pengertian kebudayaan yang dikaitkan dengan kepercayaan lokal. Kedai yang menempati bangunan lama menggali kesejarahan hingga di batas kolonial, sementara bangunan baru bereksperimen dengan geometri. Keduanya bisa diterima berkat warna earthly yang diterapkan pada Sebagian besar elemen interior: warna kayu, pastel, hijau tua ataupun kuning pastel. Jika bangunan-bangunan tersebut tidak memiliki referensi tradisi, adakah ia mengejar progress masa depan seperti yang juga disebutkan dalam pernyataan Ricoeur? Ternyata juga tidak. Acuan utamanya adalah pada apa yang disukai oleh para penggunanya: anak-anak muda yang menginginkan sesuatu yang berbeda. Dalam perdebatan ini, kedai-kedai tersebut ada di ruang liminal, ruang di awang-awang, ruang yang tidak secara tegas menempatkan dirinya dalam garis waktu yang disebutkan oleh pernyataan dalam essay Ricoeur.
Perdebatan tentang kenusantaraan sangat penting dalam arus globalisasi di mana semua tempat saat ini terhubung. Manuel Castells dalam bukunya The Power of Identity bahkan menyebutkan bahwa Masyarakat yang memiliki tradisi kuat harus mempertahankannya agr tidak terombang-ambing di lautan informasi yang bergerak cepat dan acak. Tetapi melihat fenomena warung kopi ini, menarik untuk kita lihat apa yang terjadi di lapangan, di tempat-tempat hidup keseharian masyarakat terutama generasi muda. Nampaknya mereka menyukai liminalitas! Atau jangan-jangan inilah karakter kenusantaraan yang kita perdebatkan, keenganan untuk sepenuhnya melihat masa lalu sekaligus juga keriweuhan untuk menyongsong ketidakpastian masa depan?