Re-Marginalisasi Kawasan Pegunungan Bali?

#


img

#

By WARC

July 5, 2025

Re-Marginalisasi Kawasan Pegunungan Bali?

I Ngurah Suryawan 

Jika kita menengok kawasan pegunungan Bali kini, semisal di kawasan Kintamani, perlahan-perlahan berjejer dengan sesak cafe-cafe dan fasilitas pariwisata dalam berbagai bentuk. Terselip adalah warung-warung mujair nyat-nyat masyarakat lokal yang mencoba bertahan sebelum tergiur menjadi pertokoan, cafe, atau akomodasi untuk melayani pariwisata yang mulai merangsek secara massif ke wilayah pegunungan. Berjejernya akomodasi wisata yang memanjakan mata dan rasa itu berhimpitan dengan pura-pura penting yang menandai peradaban Bali kuno diantaranya tidak mencakup semuanya adalah Pura Puncak Penulisan, Pura Dalem Balingkang, dan sudah tentunya Puru Ulun Danu Batur.

Kawasan pegunungan Cintamani Mmal (Kintamani) Bali dalam  catatan sejarah dinarasikan sebagai tempat perguruan dan pengetahuan diciptakan serta ditransmisikan kepada kaum cerdik pandai dan komunitas keseluruhan. Peradaban Bali salah satunya dibentuk di wilayah-wilayah pegunungan dengan keberagaman yang sangat kompleks. Salah satu penanda penting tersebut adalah jejaring pura-pura yang menjadi pusat orientasi pemujaan dari aliansi-aliansi komunitas. Seluruh keterhubungan tersebut, ditambah dengan ritus-ritus penting sepanjang waktu mengikat komunitas dan pura-pura pusat orientasi dalam pembentukan totalitas kebudayaan kawasan pegunungan Bali.

Kawasan pegunungan Bali menyimpan berbagai narasi pengetahuan dalam berbagai aspek, termasuk menantang (baca: menandingi) “dominasi” wilayah pesisir Bali (selatan) dalam merespresentasikan wajah Bali. Pengetahuan Bali pegunungan kurang tertangkap lampu-lampu gemerlap perbincangan “puncak-puncak” kebudayaan Bali. Kawasan pegunungan menjadi wilayah yag terus-menerus dirangsek pengaruh kerajaan untuk ditaklukkan. Pada sisi yang lain, komunitas kawasan pegunungan selalu mencoba melakukan resistensi dan pada momen-momen tertentu bernegosiasi.   

 

Mercusuar

Thomas Reuter yang lama meneliti kawasan pegunungan Bali mengandaikan bahwa masyarakat pegunungan Bali tidak tertangkap oleh menara-menara mercusuar penguasa yang memiliki otoritas dalam mengkonstruksi pengetahuan tentang Bali. Reuter (2005; 2018) dalam studi-studinya tentang masyarakat pegunungan Bali mengungkapkan dengan gamblang bahwa masyarakat Bali pegunungan adalah komunitas yang “lain” dalam representasi yang dikonstruksi tentang Bali.

Dunia agama dan kebudayaan Bali pegunungan hampir tidak kelihatan di tengah mercusuar-mercusuar kebudayaan yang tinggi dan lampunya yang terang benderang yang representasikan oleh Bali daratan atau Bali selatan. Representasi tentang Bali yang “terbatas” inilah yang problematik. Oleh sebab itulah meletakkan komunitas masyarakat Bali pegunungan sebagai subyek yang aktif dan bergerak—dengan jaringan alinasi-aliansi ritual, “kelebihdahuluan” dan politik, ekonomi sertan sosial budaya—menyertai dinamika mereka yang tinggi menjadi salah satu perspektif yang penting dikedepankan.

Wilayah pegunungan yang “disamarkan” dalam pembentukan pengetahuan sebuah komunitas memang tidak hanya terjadi di Bali. Tania Murray Li dalam analisisnya tentang keterpinggiran, kekuasaan, dan produksi dalam transformasi daerah pedalaman mengemukakan bahwa sejatinya daerah pegunungan/pedalaman di Indonesia telah diidentifikasikan, dibentuk, dibayangkan, dikelola, dikendalikan, dieksploitasi, dan “dibangun” melalui berbagai wacana dan praktik yang berlangsung melalui karya akademik, kebijakan pemerintah, aktivisme nasional dan dan internasional, dan pemahaman masyarakat awam juga.

Wacana dan praktik tersebut dicirikan oleh adanya persepsi bahwa daerah pedalaman adalah suatu ranah marginal yang secara sosial, ekonomi, dan fisik jauh tersisih dari jalur utama. Sifatnya “tradisional”, belum berkembang dan tertinggal. Sangat penting untuk melihat kondisi keterpinggiran dari segi historis dan di dalam proses khusus yang terkait dengan pengetahuan, kekuasaan, dan produksi (Li, 2002: 3).

 

Marginalisasi dan Re-Marginalisasi

Daerah pedalaman yang dianggap sebagai daerah pinggiran, berada di tepian wilayah “pusat”, justru sebaliknya dijadikan sebagai basis untuk mewujudkan agenda tertentu, dan memiliki dampak yang nyata dalam menetapkan model atau rencana pembangunan seperti apa yang perlu dilaksanakan di daerah pegunungan/pedalaman. Sederhananya, kehadiran daerah pegunungan/pedalaman sebenarnya berkaitan (baca: menopang) daerah urban (perkotaan), namun tidak diakui secara jujur. Daerah pedalaman tetap dianggap sebagai daerah pinggiran. Tapi, justru di daerah pedalaman dan dipinggirkan itulah sumber peradaban komunitas berasal.

Proses marginalisasi daerah pegunungan/pedalaman mempunyai tiga implikasi penting yaitu: pertama, pemilahan antara dataran tinggi dan dataran rendah atau daerah pedalaman dan daerah pesisir perlu dianalisis melalui kerangka tunggal, dan diperlakukan sebagai suatu system yang tepadu. Pinggiran adalah bagian penting dari keseluruhan, bukannya terpisah. Kedua, keterpinggiran jelas merupakan konsep hubungan (relasional) yang menyangkut suatu konstruksi sosial, bukan sekadar konstruksi alam. Jelas ada relasi asimetris antara pinggir dan pusat, keduanya bukan sebagai dua bagian yang setara dari suatu keseluruhan. Ketiga, oleh karena itulah pembentukan daerah pinggir dan pusat tetap dipahami sebagai sutua proyek hegemoni yang selalu dapat dipertentangkan serta dirumuskan kembali, dan dengan demikian bukanlah suatu pembentukan yang tuntas. 

Keterpinggiran yang menyerang daerah pedalaman, dengan demikian adalah suatu konstruksi sosial dan juga proyek hegemoni. Proses kostruksi sosial dan hegemoni inilah yang menyebabkan suatu ruang tertentu—dalam hal ini daerah pinggiran—mendapatkan deskripsi yang disederhankan, dijadikan stereotip dan dikontraskan atau dibandingkan dengan daerah lain, dan diberikan peringkat menurut kriteria yang ditentukan oleh pusat kekuasaan. Mitos akan ruang itulah yang membentuk prasangka dalam diri orang-orang yang merancang kebijakan, mengambil keputusan, dan menafsirkan hasilnya, melalui retorika dan substansi yang menekankan pentingnya campur tangan pusat di daerah pinggiran (Li, 2002: 5).

Daerah-daerah pegunungan di Bali adalah sumber peradaban itu sendiri. Kawasan pegunungan Sukawana dan Batur salah satunya. Berjalannya peradaban air pada lahan-lahan pertanian masyarakat. Selain sebagai jantung kehidupan, air menciptakan filosofinya sendiri. Totalitas kehidupan keagamaan manusia Bali dinafasi salah satunya oleh air. Bentang lahan pertanian yang diairi oleh subak menjadi cikal-bakal peradaban Bali sebelum mengenal pariwisata.

Pada masa itulah Bali pernah merasakan masa keemasan “kebudayaan pertanian” yang didukung oleh sistem komunitas masyarakatnya. Sistem komunitas inilah yang menopang kebudayaan pertanian dengan jaringan keterikatannya, diantaranya adalah hubungan sosial desa dan banjar, orientasi pura penting, banua, dan sanggah kemulan. Lingkaran jaringan keterikatan inilah yang menaungi sekaligus menggerakkan ke-hidupan dan mencipta kebudayaan Bali itu sendiri (Reuter 2002; 2018).

Bentang alam tersebut memastikan bahwa alam dan manusia Bali dinaungi oleh gunung dan danau yang sarat nilai teolgis dan juga spiritual. Keseluruhan landskap religius tersebut berdiri pura-pura yang menjaga alam dan manusia Bali. Laku hidup kesehariannya adalah praktik ritual untuk menjaga alam dan manusianya. Praktik pemulian terhadap hutan, danau, laut, pemberantasan hama, dan lingkungan lainnya diekspresikan melalui serangkaian ritual. Budaya air dan peradaban masyarakat pegunungan tumbuh dari kesuluruhan kehidupan manusia Bali.

Citra kawasan pegunungan dan narasi keterpinggirannya ini adalah suatu konstruksi sosial berlangsung melalui proses penghilangan kebudayaan masyarakat di wilayah pedalaman. Kompleksitas sejarah dan budaya komunitas pedalaman tersebut kemudian diseret dalam konseptualisasi evolusi yang dianggap tidak maju dan terbelakang karena mereka tinggal di tempat-tempat yang terasing. Kini, beberapa kawasan pegunungan/pedalaman Bali wilayah serbuan investasi pariwisata dengan berbagai pembangunan infrastruktur. Massifnya kehadiran investasi berimplikasi kepada transformasi sosial yang dipercepat.

Demikianlah, sejarah dan peradaban pun kemudian berkembang. Proses marginalisasi pertama wilayah pegunungan dalam catatan sejarah sebelumnya kini mulai disulap menjadi wilayah ekstraksi baru. Kapitalisme sumber daya alam dan pariwisata (dalam kasus Bali) memerlukan pengorganisasian ruang-ruang baru yang dijadikan ladang ekspansi kapital (Harvey, 2001; Lefebvre, 1991). Wilayah pegunungan/pedalaman tidak serta termarginalkan, tetapi menjadi tanah harapan baru reorganisasi ruang-ruang untuk bergulirnya moda kapital pariwisata.

Pada sirkuit itulah sejarah marginalisasi menjadi sebuah kontradiksi, saat wilayah perguruan dengan sumber pengetahuan serta spiritualitasnya terdesak dengan moda kapital pariwisata. Implikasinya adalah terjadinya marginalisasi kedua, atau bisa disebut re-marginalisasi, yang disebabkan oleh laju massifnya moda kapital pariwisata. Masyarakat wilayah pegunungan berkubang dalam sirkuit tersebut yang berhadapan dan berkelidan dengan para pemodal, pemburu rente, birokrat, dan para elit mereka sendiri dalam perburuan akumulasi kapital pariwisata.   

 

DAFTAR PUSTAKA

Harvey, David. 2001. Spaces of Capital: Towards a Critical Geography. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Lefebvre, Henri. 1991. The Production of Space. translate by Donald Nicholson-Smith. Cambridge MA: Blackwell.

Li, Tania Murray. 2002. “Keterpinggiran, kekuasaan, dan produksi: analisis terhadap transformasi daerah pedalaman” dalam Tania Murray Li (ed). (2002). Proses transformasi daerah pedalaman di Indonesia. (alih Bahasa: Sunarto dan S.N. Kartikasari). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Reuter, Thomas. 2018. Rumah Leluhur Kami: Kelebihdahuluan dan Dualisme dalam Masyarakat Bali Dataran Tinggi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. 

 

Reuter, Thomas A. 2005. Custodians of the Sacred Mountains: Budaya dan Masyarakat di Daerah Pegunungan Bali. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.