THE DYNAMICS OF POLICY CHANGE AND AGILE GOVERNANCE: HOW INDONESIAN GOVERNMENT RESPONSE TO COVID-19 PANDEMIC

#


img

#

By Anak Agung Gde Brahmantya Murti, S.I.P., MPA

February 8, 2025

THE DYNAMICS OF POLICY CHANGE AND AGILE GOVERNANCE: HOW INDONESIAN GOVERNMENT RESPONSE TO COVID-19 PANDEMIC

Penanganan pandemi COVID-19 di Indonesia mencerminkan tantangan besar dalam menghadapi krisis kesehatan global. Pemerintah harus menerapkan prinsip agile governance yang mengutamakan kecepatan dan fleksibilitas dalam membuat kebijakan. Penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun pendekatan tersebut relevan, pelaksanaannya tidak sepenuhnya optimal karena perubahan kebijakan sering kali bersifat inkremental. Pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan, mulai dari pembatasan sosial berskala besar (PSBB), pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), hingga PPKM Mikro dan Darurat, yang terus disesuaikan dengan situasi pandemi. Namun, kebijakan-kebijakan ini kerap menimbulkan kebingungan di masyarakat karena sifatnya yang dinamis dan kurang matang dalam perumusan awal.

Rumusan masalah yang diangkat pada jurnal ini adalah bagaimana respons kebijakan pemerintah terhadap kasus COVID-19 dan bagaimana dinamika jaringan kebijakan mengubah kebijakan penanganan COVID-19. Penelitian ini menggunakan metode studi literatur dan data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang dikumpulkan dari bulan Januari 2019 hingga Februari 2022. Data sekunder dalam penelitian ini berupa artikel jurnal yang dipublikasikan dengan indeks SCOPUS dan Sinta. Terdapat dua mekanisme prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini. Mekanisme pengumpulan data yang pertama adalah menentukan kesenjangan dalam mengembangkan teori dan penelitian mengenai “Agile government,” “Perubahan Kebijakan,” dan “COVID-19” dengan batasan tahun 2019-2021. Selain itu, kami juga mengumpulkan data di luar artikel yang terindeks dan memiliki waktu publikasi yang relatif lampau, yang bertujuan untuk memperkuat konsep asli atau ground theory.

Penanganan COVID-19 memerlukan koordinasi dari berbagai pihak, termasuk pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan aktor-aktor lainnya. Pemerintah membentuk berbagai unit tugas, mulai dari Gugus Tugas COVID-19 hingga Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Pemerintah pusat menjadi aktor utama, namun implementasi kebijakan di lapangan memerlukan koordinasi dengan berbagai elemen, termasuk pemerintah daerah, institusi militer, polisi, dan sektor swasta. Pergeseran fokus dari pendekatan kesehatan ke pemulihan ekonomi menyoroti tarik ulur kepentingan dalam jaringan aktor tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan agile governance membutuhkan kekuatan aktor dominan yang mampu menentukan arah dan substansi kebijakan secara efektif.

Selain itu, data yang tidak terintegrasi dengan baik menjadi hambatan signifikan dalam pengambilan keputusan. Aliran informasi yang tidak sinkron antara pemerintah pusat dan daerah mempersulit penyusunan kebijakan yang berbasis data akurat. Kondisi ini diperburuk dengan munculnya kritik masyarakat terhadap inkonsistensi kebijakan, seperti aturan karantina yang berubah-ubah dan dianggap menguntungkan kelompok tertentu.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa meskipun agile governance merupakan pendekatan yang sesuai untuk menghadapi pandemi, penerapannya memerlukan perbaikan dalam hal koordinasi, komunikasi, dan perumusan kebijakan berbasis data yang lebih matang. Dalam jangka panjang, upaya peningkatan sistem birokrasi yang lebih responsif dan transparan menjadi kebutuhan mendesak untuk menghadapi tantangan serupa di masa depan.

 

Menghadapi Krisis: Bagaimana Indonesia Menerapkan Tata Kelola Agile Selama Pandemi COVID-19

Pandemi COVID-19 telah menguji pemerintah di seluruh dunia, memaksa mereka untuk menghadapi tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan informasi terbatas dan di bawah tekanan yang besar. Indonesia, seperti banyak negara lain, menghadapi tantangan ganda: mengelola krisis kesehatan publik sekaligus menangani dampak sosio-ekonomi. Artikel ini mengeksplorasi bagaimana Indonesia mengadopsi prinsip-prinsip tata kelola agile (agile governance) untuk merespons pandemi, tantangan yang dihadapi, serta pelajaran yang dapat dipetik dari respons kebijakannya.

 

Munculnya Tata Kelola Agile dalam Krisis

Tata kelola agile, sebuah konsep yang biasanya terkait dengan sektor swasta, menekankan adaptabilitas, kecepatan, dan fleksibilitas dalam pengambilan keputusan. Selama pandemi COVID-19, pendekatan ini menjadi sangat penting bagi pemerintah untuk merespons perubahan kondisi yang cepat. Kasus pertama COVID-19 di Indonesia terdeteksi pada 2 Maret 2020, mendorong pemerintah untuk menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada 31 Maret 2020. Meskipun diperlukan, pembatasan ini menyoroti ketegangan antara prioritas kesehatan publik dan stabilitas ekonomi.

Respons pemerintah Indonesia ditandai dengan penyesuaian kebijakan yang sering, seperti transisi dari PSBB ke Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dan memperkenalkan berbagai tingkat pembatasan (PPKM Mikro, PPKM Darurat, dan PPKM Level 1-4). Meskipun perubahan ini bertujuan untuk menyesuaikan diri dengan kondisi yang terus berkembang, hal ini sering menimbulkan kebingungan dan kritik dari masyarakat. Kritikus berargumen bahwa pergeseran kebijakan yang cepat kurang melalui pertimbangan mendalam, menciptakan ketidakpastian bagi warga.

 

Perubahan Kebijakan dan Persepsi Publik

Salah satu kebijakan yang paling kontroversial adalah persyaratan karantina bagi pelaku perjalanan internasional. Pemerintah menyesuaikan durasi karantina dan protokol pengujian beberapa kali, memicu tuduhan inkonsistensi. Misalnya, pengecualian karantina untuk pejabat publik menimbulkan kemarahan publik dan tuduhan adanya perlakuan istimewa. Demikian pula, perubahan persyaratan tes yang sering untuk pengguna transportasi massal menimbulkan keraguan tentang kesiapan pemerintah.

Perubahan kebijakan yang bersifat inkremental ini, meskipun diperlukan untuk menghadapi tantangan langsung, sering kali tidak memenuhi harapan publik. Menurut Hayes (2012), kebijakan inkremental adalah hal yang umum dalam situasi dengan pengetahuan yang tidak lengkap dan keterbatasan waktu. Namun, kurangnya penyimpangan signifikan dari kebijakan sebelumnya menimbulkan persepsi kebingungan dan ketidakefisienan.

 

Belajar dari Contoh Global

Pengalaman Indonesia mencerminkan tren global, di mana pemerintah berjuang untuk menyeimbangkan kecepatan dan stabilitas. Negara-negara seperti Taiwan, Korea Selatan, dan Belanda berhasil menerapkan tata kelola agile dengan memanfaatkan teknologi, pengambilan keputusan berbasis data, dan kolaborasi pemangku kepentingan. Negara-negara ini menunjukkan bahwa ketangkasan tidak hanya tentang kecepatan, tetapi juga tentang koordinasi, transparansi, dan kepercayaan publik.

Sebaliknya, jaringan kebijakan Indonesia mengungkap kompleksitas dalam menyeimbangkan kepentingan kesehatan dan ekonomi. Pembentukan satuan tugas khusus, seperti Unit I dan Unit II, menyoroti upaya pemerintah untuk mengintegrasikan strategi pemulihan kesehatan dan ekonomi. Namun, sentralisasi kekuasaan dan dominasi aktor tertentu dalam jaringan kebijakan menimbulkan kekhawatiran tentang transparansi dan akuntabilitas.

 

Tantangan dan Pelajaran yang Dipetik

Respons pemerintah Indonesia terhadap COVID-19 menyoroti tantangan dalam menerapkan tata kelola agile dalam sistem birokrasi yang kompleks. Perubahan kebijakan yang cepat, meskipun diperlukan, sering kali kurang koheren dan kurang mendapatkan dukungan publik. Ketergantungan pemerintah pada penyesuaian inkremental mencerminkan kesulitan dalam memprediksi dan mengatasi dampak jangka panjang pandemi.

Beberapa pelajaran penting dari pengalaman Indonesia meliputi:

  1. Pentingnya komunikasi yang jelas: Perubahan kebijakan yang sering harus disertai dengan pesan yang transparan dan konsisten untuk membangun kepercayaan publik.
  2. Menyeimbangkan ketangkasan dan stabilitas: Meskipun ketangkasan penting dalam krisis, kebijakan juga harus memberikan rasa stabilitas dan prediktabilitas bagi warga dan bisnis.
  3. Memperkuat koordinasi: Manajemen krisis yang efektif memerlukan kolaborasi yang mulus antara pemerintah pusat dan daerah, serta dengan aktor non-negara.
  4. Memanfaatkan data dan teknologi: Pengambilan keputusan berbasis data dan alat digital dapat meningkatkan kecepatan dan akurasi respons kebijakan.
  5.  

Kesimpulan

Pandemi COVID-19 telah mengubah paradigma tata kelola di seluruh dunia, menekankan kebutuhan akan ketangkasan, adaptabilitas, dan ketahanan. Pengalaman Indonesia menyoroti potensi dan tantangan tata kelola agile dalam krisis. Meskipun penyesuaian kebijakan yang cepat menunjukkan komitmen pemerintah dalam menangani pandemi, kurangnya koherensi dan kepercayaan publik mengungkap area yang perlu diperbaiki.

Ketika dunia terus menghadapi dampak COVID-19, pelajaran dari respons Indonesia menawarkan wawasan berharga untuk manajemen krisis di masa depan. Dengan mendorong kolaborasi, transparansi, dan inovasi, pemerintah dapat membangun sistem yang lebih tangguh dan mampu menghadapi ketidakpastian di abad ke-21.